Pengertian
Kepemimpinan dalam Organisasi
Pengertian kepemimpinan adalah faktor kunci
dalam suksesnya suatu organisasi serta manajemen.
Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini mampu
mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar
dapat bersaing secara baik.
Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan
para penulis di bidang organisasi dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja
mengkaitkan aspek individual seorang pemimpin dengan konteks situasi di mana
pemimpin tersebut menerapkan kepemimpinan. Kepemimpinan juga memiliki
sifat kolektif dalam arti segala perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan
memiliki dampak luas bukan bagi dirinya sendiri melainkan seluruh anggota
organisasi.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu
terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau
organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personalatau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu,
kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau
organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi
mencapai tujuan-tujuannya.
Cukup banyak definisi kepemimpinan yang
ditawarkan para ahli di bidang organisasi dan manajemen. Masing-masing memiliki
perspektif dan metodelogi pembuatan definisi yang cukup berbeda, bergantung
pada pendekatan (epistemologi) yang mereka bangun guna menyelidiki fenomena
kepemimpinan.
Stephen Robbins, misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai
“ ... the ability to influence a group toward the achievement of goals.”[1] Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai serangkaian
tujuan. Kata “kemampuan”, “pengaruh” dan “kelompok” adalah konsep kunci dari
definisi Robbins.
Definsi lain, yang cukup sederhana, diajukan
oleh Laurie J. Mullins.[2] Menurut Mullins, kepemimpinan adalah “ ...
a relationship through which one person influences the behaviour or actions of
other people.” Definisi Mullins menekankan pada konsep “hubungan” yang
melaluinya seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain.
Kepemimpinan dalam definisi yang demikian dapat berlaku baik di organisasi
formal, informal, ataupun nonformal. Asalkan terbentuk kelompok, maka
kepemimpinan hadir guna mengarahkan kelompok tersebut.
Definisi kepemimpinan yang agak berbeda
dikemukakan oleh Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua.[3] Menurut
mereka, kepemimpinan adalah “... the influencing process of leaders and
followers to achieve organizational objectives through change.” Bagi Lussier and Achua, proses mempengaruhi tidak hanya dari
pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan timbal balik atau dua arah.
Pengikut yang baik juga dapat saja memunculkan kepemimpinan dengan mengikuti
kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu memberikan umpan balik kepada
pemimpin. Pengaruh adalah proses pemimpin mengkomunikasikan gagasan, memperoleh
penerimaan atas gagasan, dan memotivasi pengikut untuk mendukung serta
melaksanakan gagasan tersebut lewat “perubahan.”
Definisi kepemimpinan juga diajukan Yukl, yang
menurutnya adalah “ ... the process of influencing others to understand
and agree about what needs to be done and how to do it, and the process of
facilitating individual and collective efforts to accomplish shared objectives.”[4] [“...
proses mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta menyetujui apa yang
harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses
memfasilitasi upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama.”]
Definisi kepemimpinan, cukup singkat, diajukan
Peter G. Northouse yaitu “ ... is a process whereby an individual
influences a group of individuals to achieve a common goal.”[5] [“ ...
adalah proses dalam mana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu guna
mencapai tujuan bersama.”] Lewat definisi singkat ini, Northouse
menggarisbawahi sejumlah konsep penting dalam definisi kepemimpinan yaitu:
1.
kepemimpinan merupakan
sebuah proses;
2.
kepemimpinan
melibatkan pengaruh;
3.
kepemimpinan muncul di
dalam kelompok;
4.
kepemimpinan
melibatkan tujuan bersama.
Kepemimpinan adalah suatu konsep yang kompleks
sehingga para ahli mengkaji masalah ini dari aneka sisi. Masing-masing sisi
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebagai contoh, penulis
seperti Peter G. Northouse membagi pendekatan kepemimpinan menjadi:
1.
Pendekatan Sifat (Trait);
2.
Pendekatan Keahlian (Skill);
3.
Pendekatan Gaya (Style);
4.
Pendekatan
Situasional;
5.
Pendekatan Kontijensi;
6.
Teori Path-Goal;
7.
Teori Pertukaran Leader-Member;
8.
Pendekatan
Transformasional;
9.
Pendekatan Otentik;
10.
Pendekatan Tim;
11.
Pendekatan
Psikodinamik.
Pendekatan sifat termasuk pendekatan kepemimpinan yang
paling tua. Pendekatan sifatmenganggap pemimpin itu dilahirkan (given)
bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu yang
melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari
pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan orang-orang
besar. Lebih jauh, pendekatan ini juga membedakan antara pemimpin yang
efektif dengan yang tidak efektif. Pendekatan ini dimulai tahun 1930-an dan
hingga kini telah meliputi 300 riset.
Fokus pendekatan sifat semata-mata
pada pemimpin per se. Pemimpin berbeda dengan pengikut akibat ia
punya sejumlah sifat kualitatif yang tidak dimiliki pengikut pada umumnya.
Setelah merangkum studi yang dilakukan oleh Ralph Melvin Stogdill (1948), Mann
(1959), Stogdill (1974), Lord, DeVader, and Alliger (1986),
Kirkpatrick and Locke (1991) dan Zaccaro, Kemp, and Bader
(2004), Peter G. Northouse menyimpulkan sifat-sifat yang melekat pada diri
seorang pemimpin yang melakukan kepemimpinan (menurutpendekatan sifat)
adalah sifat-sifat kualitatif berikut:
1.
Intelijensi – Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam
hal kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat ketimbang yang
bukan pemimpin.
2.
Kepercayaan
Diri – Kepercayaan diri
adalah keyakinan akan kompetensi dan keahlian yang dimiliki, dan juga meliputi
harga diri serta keyakinan diri.
3.
Determinasi – Determinasi adalah hasrat menyelesaikan
pekerjaan yang meliputi ciri seperti berinisiatif, kegigihan, mempengaruhi, dan
cenderung menyetir.
4.
Integritas – Integritas adalah kualitas kujujuran dan
dapat dipercaya. Integritas membuat seorang pemimpin dapat dipercaya dan layak
untuk diberi kepercayaan oleh para pengikutnya.
5.
Sosiabilitas – Sosiabilitas adalah kecenderungan pemimpin
untuk menjalin hubungan yang menyenangkan. Pemimpin yang menunjukkan
sosiabilitas cenderung bersahabat, ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis.
Mereka sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan menunjukkan perhatian atas
kehidupan mereka.
Sementara itu, secara kuantitatif,
pendekatan sifat memilah indikator kepemimpinan yang juga dikenal sebagai The
Big Five Personality Factors sebagai berikut:
1.
Neurotisisme– Kecenderungan menjadi depresi, gelisah,
tidak aman, mudah diserang, dan bermusuhan;
2.
Ekstraversi– Kecenderungan menjadi sosiabel dan tegas
serta punya semangat positif;
3.
Keterbukaan– Kecenderungan menerima masukan, kreatif, berwawasan,
dan punya rasa ingin tahu;
4.
Keramahan– Kecenderungan untuk menerima, menyesuaikan
diri, bisa dipercaya, dan mengasuh; dan
5.
Kecermatan– Kecenderungan untuk teliti, terorganisir,
terkendali, dapat diandalkan, dan bersifat menentukan.
Kelima faktor yang dapat dikuantifikasi di
atas, lewat sejumlah riset, punya korelasi kuat dengan
kepemimpinan-kepemimpinan tertentu di dalam organisasi.
Pendekatan Keahlian punya fokus yang sama
dengan pendekatan sifat yaitu individu pemimpin. Bedanya,
jika pendekatan sifat menekankan pada karakter personal
pemimpin yang bersifat given by God, maka pendekatan
keahlian menekankan pada keahlian dan kemampuan yang dapat dipelajari
dan dikembangkan oleh siapapun yang ingin menjadi pemimpin organisasi.
Jika pendekatan sifat mempertanyakan siapa
saja yang mampu untuk menjadi pemimpin, maka pendekatan
keahlian mempertanyakan apa yang harus diketahui untuk menjadi
seorang pemimpin. Definisi pendekatan keahlian adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan kompetensi yang ada dalam
dirinya untuk mencapai seperangkat tujuan. Keahlian, menurut pendekatan
keahlian dapat dipelajari, dilatih, dan dikembangkan.
Pendekatan Keahlian terbagi dua : (1) Keahlian
Administratif Dasar, dan (2) Model Keahlian Baru. Keahlian
Administratif Dasar terdiri atas penguasaan dalam hal: Teknis,
Manusia, dan Konseptual.
Keahlian Administratif Dasar. Kepemimpinan banyak didasari oleh tiga
keahlian administrasi dasar yaitu: teknis, manusia, dan konseptual.
Keahlian-keahlian ini berbeda sesuai sifat dan kualitas seorang pemimpin.
1. Keahlian
Teknis. Keahlian ini merupakan pengetahuan mengenai dan kemahiran atas
jenis pekerjaan tertentu. Keahlian ini meliputi kompetensi-kompetensi di area
spesialisasi tertentu, kemampuan analitis, dan kemampuan menggunakan alat dan
teknik yang tepat. Contoh, di perusahaan software komputer,
keahlian teknis dapat meliputi pengetahuan bahasa program dan bagaimana
memprogramnya, serta memastikan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para klien.
2. Keahlian
Manusia. Keahlian Manusia adalah pengetahuan mengenai dan kemampuan bekerja
dengan orang lain. Keahlian ini beda dengan keahlian teknis, di mana keahlian
manusia berorientasi manusia, sementara keahlian teknis berorientasi benda.
3. Keahlian
Konseptual. Keahlian konseptual adalah kemampuan untuk
bekerja dengan gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Jika keahlian teknis bicara
tentang kerja dengan benda, keahlian manusia bicara tentang kerja dengan
manusia, maka keahlian konseptual bicara tentang kerja dengan
ide atau gagasan. Pemimpin yang punya keahlian konseptual merasa
nyaman tatkala bicara tentang ide yang membentuk suatu organisasi dan dapat
melibatkan diri ke dalamnya. Mereka mahir menempatkan tujuan organisasi ke dalam
kata-kata yang bisa dipahami oleh para pengikutnya.
Model Keahlian Baru. Model Keahlian Baru dikenal
juga dengan nama Model Kapabilitas. Model ini menguji hubungan
antara pengetahuan dan keahlian seorang pemimpin dengan kinerja yang
ditunjukkan oleh pemimpin tersebut dalam memimpin.
Pendekatan gaya kepemimpinan menekankan pada perilaku
seorang pemimpin. Ia berbeda dengan pendekatan sifat yang
menekankan pada karakteristik pribadi pemimpin, juga berbeda dengan pendekatan
keahlian yang menekankan pada kemampuan administratif pemimpin. Pendekatan gaya
kepemimpinan fokus pada apa benar-benar dilakukan oleh pemimpin dan
bagaimana cara mereka bertindak. Pendekatan ini juga memperluas kajian
kepemimpinan dengan bergerak ke arah tindakan-tindakan pemimpin terhadap anak
buah di dalam aneka situasi.
Pendekatan ini menganggap kepemimpinan apapun
selalu menunjukkan dua perilaku umum : (1) Perilaku Kerja, dan
(2) Perilaku Hubungan. Perilaku kerja memfasilitasi
tercapainya tujuan: Mereka membantu anggota kelompok mencapai tujuannya. Perilaku
hubunganmembantu bawahan untuk merasa nyaman baik dengan diri sendiri,
dengan orang lain, maupun dengan situasi dimana mereka berada. Tujuan
utama pendekatan gaya kepemimpinan adalah
menjelaskan bagaimana pemimpin mengkombinasikan kedua jenis perilaku (kerja dan
hubungan) guna mempengaruhi bawahan dalam upayanya mencapai tujuan organisasi.
Pendekatan gaya kepemimpinan secara singkat
direpresentasikan oleh tiga riset yang satu sama lain berbeda. Pertama,
riset Ohio State University yang diadakan di akhir 1940-an
lewat karya Stogdill (1948), yang memberi perhatian yang lebih dari sekadar
sifat dalam mengkaji kepemimpinan. Kedua, riset yang diadakan
di University of Michigan yang mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan
menjalankan fungsinya di dalam kelompok kecil.Ketiga, riset yang diawali
oleh Blake dan Mouton di awal 1960-an yang mengeksplorasi bagaimana manajer
menggunakan perilaku kerja dan hubungannya dalam konteks organisasi.
Kelompok riset di Ohio State
University yakin bahwa dengan memposisikan kepimpinan sebagai sifat
personal akan kurang berhasil dalam menganalisis fenomena kepemimpinan.
Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis bagaimana individu bertindak tatkala
mereka tengah memimpin suatu kelompok atau organisasi. Analisis dilakukan
dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan mereka
atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa kali
pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu.
Kuesioner tersebut terdiri atas 1800
pertanyaan yang menggambarkan aneka aspek berbeda dari perilaku seorang
pemimpin. Dari daftar panjang tersebut, diformulasikanlah 150 pertanyaan yang
kemudian dikenal sebagai Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ).
LBDQ diberikan kepada pada ratusan orang di bidang pendidikan, militer, dan
industri, dan hasilnya menunjukkan bahwa kelompok perilaku tertentu adalah khas
seorang pemimpin. Enam tahun kemudian, R.M. Stogdill mempublikasikan versi
ringkas LBDQ yang disebut LBDQ-XII, yang menjadi kuesioner yang paling banyak
digunakan dalam riset kepemimpinan.
Para peneliti menemukan bahwa tanggapan
bawahan atas pimpinan dalam kuesioner yang mereka isi mengelompok pada dua tipe
umum perilaku pimpinan. Pertama, struktur prakarsa yaitu sejauh
mana seorang pemimpin mendefinisikan serta menentukan peran-peran para bawahan
dalam rangka merancang dan memenuhi tujuan di area
pertanggungjawabannya.[6] Gaya ini menekankan pengarahan kegiatan pekerja
dalam tim ataupun individu lewat perencanaan, pengkomunikasian, penjadualan,
penugasan pekerjaan, penekanan deadline, dan pemberian perintah.
Pemimpin memelihara standard kinerja yang ketat dan berharap
bawahan memenuhinya.
Dampak positif dari pemimpin yang
mengaplikasikan Struktur Prakarsa atas produktivitas dan
kepuasan kerja muncul tatkala : (1) penekanan yang tinggi atas hasil dilakukan
oleh orang lain selain dari pemimpin; (2) pekerjaan memuaskan pekerja; (3)
pekerja bergantung pada pemimpin atas informasi dan arahan seputar bagaimana
menyelesaikan pekerjaan; (4) pekerja secara psikologis dapat dipengaruhi lewat
pemberian instruksi seputar dalam hal apa saja yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya; dan (5) lebih dari 12 pekerja melapor secara intens
kepada pemimpin.
Kedua, perilaku perhatian yang pada dasarnya sama dengan perilaku
hubungan.Perilaku perhatian adalah sejauh mana pemimpin punya
hubungan dengan bawahan yang dicirikan oleh sikap saling percaya, jalinan
komunikasi dua arah, respek pada gagasan pekerja, dan empati atas perasaan
mereka. Gaya ini menekankan pada pemuasan kebutuhan psikologis pekerja.
Pemimpin umumnya menyediakan waktu untuk mendengar, berkeinginan melakukan
perubahan nasib pekerja, mengupayakan kesejahteraan pribadi
para pekerja, bersahabat, dan mudah didekati. Derajat perhatian yang tinggi ini
mengindikasikan kedekatan psikologis antara pimpinan dan bawahan; derajat
perhatian yang rendah menunjukkan jarak psikologis yang lebar dan pimpinan
lebih impersonal (kurang manusiawi).
Dampak manfaat dari pemimpin yang
menunjukkan perilaku perhatian atas produktivitas dan kepuasan
kerja muncul tatkala (1) tugas bersifat rutin dan sedikit mengabaikan pekerja;
(2) bawahan terpengaruh oleh kepemimpinan yang partisipatif; (3) anggota tim
harus belajar sesuatu yang baru; (4) pekerja merasa keterlibatan mereka dalam
proses pengambilan keputusan memperoleh dukungan dan berdampak atas hasil
kinerja mereka; dan (5) pekerja merasa bahwa perbedaan status yang nyata antara
mereka dengan pimpinan seharusnya tidak ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar